Sabtu, 29 Mei 2010

TAJUK RENCANA - TERORIS MASIH MENGANCAM KITA


Perhatian publik beralih. Kini, publik mencermati kembali penggerebekan teroris oleh polisi yang mengakibatkan lima tersangka teroris tewas.

Dalam penggerebekan teroris selama dua hari, Tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Polri menggerebek tiga lokasi di Cawang (Jakarta), Cikampek (Karawang), dan Sukoharjo (Jawa Tengah). Polri menembak mati lima orang yang diduga teroris dan menangkap sejumlah orang tersangka teroris. Di lokasi penggerebekan ditemukan senjata api laras panjang, pistol revolver, magasin berisi peluru, dan sejumlah alat bukti lainnya.
Dalam penjelasannya kepada pers, Kepala Polri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri menegaskan, para tersangka teroris itu berencana melakukan serangan terhadap pejabat negara pada 17 Agustus 2010.
Kita tentunya mengapresiasi kinerja aparat kepolisian untuk membongkar jaringan terorisme di Indonesia. Apa yang dilakukan Densus 88 dalam dua hari terakhir adalah sebuah prestasi. Sudah begitu banyak tersangka atau terpidana kasus terorisme ditangkap dan diadili. Fakta itu menunjukkan kuatnya komitmen Pemerintah Indonesia untuk memberantas terorisme.
Namun, tetaplah menjadi pertanyaan: mengapa jaringan teroris bisa cepat tumbuh di Indonesia kendati pimpinan mereka telah ditembak, seperti Dr Azahari dan Noordin M Top. Apakah ini bukan juga disebabkan kultur masyarakat kita yang begitu permisif dan tidak berjalannya sistem pengawasan di level terendah? Kita menggarisbawahi pendapat Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan HAM Djoko Suyanto mengenai perlunya peningkatan kewaspadaan masyarakat pada tingkat RT atau RW karena ancaman teroris masih ada.
Sejauh terungkap dalam pemberitaan media, masyarakat sekitar di lokasi penggerebekan teroris tidak mengenal penghuni baru yang tinggal di sana. Kultur masyarakat yang tidak mau tahu akan kondisi sekitarnya bisa membuat jaringan teroris makin merajalela.
Penembakan mati adalah langkah yang belakangan kerap diambil polisi dalam penggerebekan teroris. Cara itu dikritik Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Meski demikian, Kapolri berargumen, langkah yang diambil Polri dalam penggerebekan teroris sudah sesuai prosedur.
Pada satu sisi, langkah penembakan juga bisa menimbulkan terapi kejut bagi siapa pun yang ingin terlibat dalam jaringan terorisme. Namun, meski pada satu sisi penembakan mati ada rasionalitasnya, langkah itu bisa menutup pengungkapan jaringan teroris lebih jauh.
Menangkap atau menembak mati teroris adalah salah satu langkah kuratif untuk mengamankan masyarakat dari ancaman aksi teroris. Namun, cara itu tetaplah perlu diimbangi dengan pendekatan lain yang bisa bersifat preventif guna mencegah semakin banyaknya masyarakat yang tertarik pada ideologi terorisme. Pendekatan yang komprehensif perlu dipikirkan.
NURDIYANTO (153080056)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar